Membincangkan sisi kebudayaan Madura sangat menarik di tengah situasi dan kondisi pulau garam itu digerus oleh industrialisasi dan globalisasi yang kini mulai tampak menggurita. Jembatan Suramadu, yang konon, menjadi simbol kebanggaan masyarakat Madura dan bangsa Indonesia, sesungguhnya dapat pula membawa petaka terhadap matinya kebudayaan asli Madura.
Kebudayaan-kebudayaan yang dianggap baru dan metropolis telah menggeser minat masyarakat terhadap kebudayaan asli yang dimiliki. Tengoklah nasib kerapan sapi, misalnya, yang mulai jarang digelar dan digantikan balap motor; seni karawitan daerah terlihat mulai ditinggalkan, karena masyarakatnya terhipnotis oleh kehebohan konser-konser musik modern.
Itu sebabnya, dalam tulisan ini hendak mengorek kembali warisan masa lalu kebudayaan Madura, yang walaupun juga mengalamai hal yang sama dengan ragam kebudayaan-kebudayaan lainnya, yaitu sepi peminat, namun masih ada harapan untuk tetap eksis. Kebudayaan asli Madura di sini, yang saya maksudkan adalah seni tari yang oleh banyak kalangan peneliti dianggap tidak menunjukkan tahap perkembangan yang berarti, tetapi eksistensinya masih berwujud dan di sebagian pedalaman masyarakat Madura terus dilestarikan.
Krisis seni tari Madura
Seni tari Madura sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan tari keraton yang ada—baik gerakan dan pakaiannya—terilhami tarian yang dikembangkan di keraton-keraton Jawa. Menurut Mien Ahmad Rifai (2007), tari rakyat yang sering dipertontonkan merupakan pengembangan tarian tunggal yang lalu dijadikan tarian berpasangan dalam bentuk tayuban. Tandha’ (penari perempuan) akan melemparkan selendangnya kepada seorang pria yang menontonnya untuk menemaninya menari dan dengan demikian dia mendapatkan imbalan duit. Tarian Madura kreasi baru—seperti misalnya tari pecut—terlihat terilhami tari ngremo atau tari kelana yang di Jawa umum dipergelarkan sebelum pertunjukan ludruk.
Gerakan tarian baru itu umumnya dinamis dan giring-giring yang dikenakan di kaki para penarinya lebih memeriahkan dan menyemarakkan suasana. Apalagi karena tarian tersebut sering ditarikan secara massal sambil membawa pecut yang kalau dikebatkan mengeluarkan bunyi menggelegar yang keras. Namun sayangnya, peristiwa ini sudah sangat jarang dijumpai di setiap pementasan tari di Madura. Yang ada, jenis tarian biasa, diperankan oleh satu atau dua sinden perempuan, lalu ditemani oleh para penyambut selendang dari kalangan laki-laki.
Seni tari lain khas Madura juga dapat ditemui pada seni pencak dan silat, yaitu seni bela diri dengan gerakan-gerakan cermat, teratur, dan sekaligus indah untuk menangkis atau mengelak serangan lawan sambil menyerang balik. Pertarungan dalam lakon yang dipentaskan saat menggelar ludruk sering melibatkan gerakan pencak dan silat. Ludruk (disebut juga katopra’) yang dimaksudkan adalah bentuk seni drama tradisional yang juga dengan susah payah terus mencoba bertahan di Madura di tengah ancaman persaingan film dan sinetron di televisi.
Ketradisionalan ludruk terkenal dari pemakaian gamelan sebagai latar belakang, dengan lakon yang dapat sangat bervariasi mulai dari khasanah klasik sampai pada cerita modern (Bouvier, 1989). Kaum muda lebih menyukai bentuk sandiwara sebagai pemodernan ludruk, dengan lakon-lakon yang tidak pakem. Pada pihak lain, wayang orang (topeng)—atau lengkapnya biasa dikenal bajang topeng dhalang (wayang topeng dalang), seni teater yang dianggap khas Madura (Soelarto, 1977)—hampir selalu hanya memainkan lakon dari episode klasik dalam Mahabarata dan Ramayana, atau dicuplikkan dari siklus cerita Panji (yang mengambil tempat saat jaya-jayanya kerajaan Kediri di abad XII).
Problem kesenian tari maupun kesusastraan Madura sejatinya tetap mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait, agar terus dilestarikan sebagai bentuk penghargaan terhadap tradisi leluhur yang telah mengakar kuat di masyarakat. Tanpa itu semua, tidak mustahil, identitas ke-Madura-an dengan segala kekhasan dan karakteristiknya akan punah ditelan zaman. Semoga tidak terjadi.
Pekan Seni Budaya Madura (PSBM) yang digelar akhir Juli hingga awal Agustus 2000 ini, menjadi tonggak sejarah dalam berkesenian dan berkebudayaan di Madura.
Serangkaian kegiatan bernuansa seni dan budaya Madura seperti kesenian tradisional dan upacara adat Sandur Mantan Legah, menjadi titik awal dari usaha mengeksistensikan Madura sebagai salah satu bagian negeri ini, yang tidak ingin kehilangan kekayaan seni budaya yang dipunyainya. Namun, di balik hajatan seni budaya ini, Madura berhasrat menjual potensi untuk kemakmuran rakyat.
Hadir dalam acara puncak PSBM yakni Semalam di Madura, Gubernur Jatim Imam Utomo, sesepuh masyarakat Madura HM Noer, dan Bupati Bangkalan M Fatah. Dalam acara itu juga diadakan pembacaan puisi “Pelestarian Budaya Madura” oleh penyair Madura, D Zawawi Imron.
“Sandur itu kesenian rakyat yang bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Madura. Jadi, kami memandang perlu untuk mengetengahkannya dalam rangkaian Pekan Seni Budaya Madura,” ujar Penasihat Dewan Kesenian Bangkalan (DKB) Hariadi kepada Kompas, Minggu (6/8).
Hariadi mengatakan, PSBM yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Bangkalan ini tidak sekadar hajatan seni budaya, tetapi juga ingin memperkenalkan potensi Madura, termasuk hasil kerajinan, obyek wisata, sampai ekspose kekayaan alam. “Visi utamanya tetap pada kelestarian seni budaya Madura, namun penyajian potensi wilayah menjadi bagian penyatuan program kerja Dinas Pariwisata Daerah dan pemerintah daerah. Sebab itu, dalam Pekan Seni Budaya Madura ini kami pun menggaet para pengusaha asal Madura,” ujar Hariadi.
Embrio
PSBM ini baru merupakan embrio dari kegairahan berkesenian dan berkebudayaan. Ini berarti pula, pergelaran kesenian tradisi dari keempat wilayah kabupaten di Pulau Madura, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan, tidak saja menjadi bagian dari hajatan seni budaya namun jauh memiliki arti dalam pengembangan potensi daerah.
PSBM, kata Hariadi, sebagai media untuk menggali potensi Madura secara utuh dalam mengaktualisasikan adat istiadat dan etika yang telah dilakukan masyarakat Madura sejak dahulu hingga sekarang. “Madura sebagai bagian dari Jawa Timur memiliki karakteristik budaya yang masih terpelihara dengan baik, misalnya saja, Mantan Legah,” ujarnya.
Hariadi mengakui, dalam hajatan seni dan budaya yang hanya berlangsung sepekan itu, tidak semua seni budaya Madura bisa dipentaskan. Namun, nuansa karakteristik nilai-nilai estetika maupun sakralitas dari sebuah perhelatan berkesenian dan berkebudayaan tetap melekat. “Kami harapkan ke depan banyak lagi yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Semuanya dilakukan agar seni budaya Madura tidak hilang dan dilupakan begitu saja walau perkembanagan jaman yang pesat namun keaslian dan kelestarian budaya Indonesia harus tetap ada sampai anak cucu kita di masa depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar